Anak-anak mengalami beberapa episode infeksi virus saluran pernapasan
setiap tahun. Infeksi virus saluran pernapasan ini meliputi rhinovirus,
influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus (RSV),
enterovirus, dan sejumlah strain adenovirus. Umumnya gangguan ini akan
sembuh sendiri, namun pada beberapa kasus infeksi virus pernapasan bukan
penyakit ringan yang sembuh sendiri. Demikian dikatakan dr. Nastiti
Kanwandani, SpA dihadapan peserta Simposium Respiratory Care Indonesia
(RESPINA), di Jakarta, 3 Desember 2011.
Salah satu gejala infeksi
virus saluran pernapasan adalah batuk. Batuk yang menyertai infeksi
virus pernapasan berlangsung selama 3-8 minggu,kata dr. Nastiti. Salah
seorang pakar di Afrika Selatan, Maras, melakukan penelitian pada
anak-anak berusia di bawah 13 tahun dengan batuk lebih dari 2 minggu dan
tidak responsif dengan pemberian terapi antibiotik lini pertama
(amoksisilin oral selama 5 hari). Penelitian tersebut menemukan bahwa
batuk merupakan diagnosis yang paling lazim pada seluruh kelompk usia,
terutama pada anak-anak berusia di bawah 2 tahun (45/54, 83,3%). dr.
Nastiti juga mengutip salah satu penelitian tentang etiologi batuk.
Penelitian Chow, 2004, menyatakan bahwa pada kelompok usia awal masa
kanak-kanak, etiologi batuk di antaranya adalah hiper responsivitas
saluran napas pascainfeksi virus Airway hyperresponsiveness (AHR).
AHR
merupakan manifestasi klinis utama dari asma. Gejala ini merupakan
respons jalan napas terhadap rangsangan seperti pada olah raga atau
penghambatan sejumlah agen yang merefleksikan beratnya asma dan
perubahan terapi. Peningkatan AHR biasanya dimulai setelah infeksi virus
rhinovirus,baik pada penderita asma maupun bukan. Meski demikian,
adakalanya infeksi virus pernapasan juga
meningkatkan AHR pada
anak-anak sehat. Mekanisme yang terjadi pada anak sehat bisa karena
peningkatan vagus yang dimediasi bronkokonstriksi, stimulasi sensorik
serat C, kerusakan epitel, peningkatan reaksi fase akhir, dan produksi
IgE spesifik virus. Batuk yang disebabkan AHR umumnya akan sembuh
sendiri. Kalau diperlukan, steroid jangka pendek dapat diberikan, kata
dokter yang bertugas di RSCM ini.
Tema Chronic Cough: An Annoying
Disorder menjadi bahasan pembicara selanjutnya, yakni dr. Jennifer Ann
Mendoza-Wi. "Batuk merupakan gangguan yang membuat pasien mencari
pengobatan," katanya. Di Inggris, sekitar 10-15% populasi mengalami
batuk dan mengonsumsi 75 juta dosis pengobatan OTC setiap tahun.
Berdasarkan penyebabnya, batuk dapat disebabkan oleh postnasal drip
syndrome, asma dan/atau GERD. Pada kelompok ini, batuk yang terjadi
bersifat kronik. Jenis batuk lain yakni batuk flu, batuk bronkitis akut,
batuk pasca infeksi, dan batuk pertusis. Pasien yang mendapat
ACE-Inhibitor juga kerap mengalami batuk. Pada kasus ini, penghentian
sementara pemberian ACE-Inhibitor dapat dilakukan. Dalam melakukan
penatalaksanaan batuk, dokter asal Filiphina ini menganjurkan untuk
melakukan anamnesis mendalam terhadap pasien. Padapasien dapat
ditanyakan apakah mendapat terapi ACE-Inhibitor, apakah pasien merokok,
apakah ada penyakit sistemik yang mendasari masalah pernapasan, dan
sebagainya. Setelah itu, dapat dilakukan uji spirometri untuk menilai
sejauh mana fungsi pernapasan pasien. Tahap selanjutnya adalah
memberikan terapi kepada pasien sesuai penyebab batuknya. Misalnya, pada
pasien postnasal drip syndrome dapat diberikan antihistamine, ICS
(kortikosteroid inhalasi), dan antibiotik. Sedangkan pada batuk
pasca-infeksi dapat diterapi dengan Ipratropium, kortikosteroid
inhalasi, dan agen antitusif seperti kodein atau dextromethorphan jika
terapi lain tidak membawa hasil.
Dalam simposium tersebut
diadakan pameran farmasi yang diikuti oleh puluhan perusahaan farmasi di
Jakarta. PT Kimia Farma yang juga menjadi sponsor sesi di atas, turut
berpartisipasi dengan mengedepankan produknya Codipront. Agen antitusif
ini mengurangi batuk dengan menekan sentral pusat batuk. Obat ini
mengurangi intensitas dan frekuensi batuk, satu jam setelah pemberian.
Aksi obat ini diperpanjang karena formulasi sustained
release.(medika/hidayati)...
Anak-anak mengalami beberapa episode infeksi virus saluran pernapasan
setiap tahun. Infeksi virus saluran pernapasan ini meliputi rhinovirus,
influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus (RSV),
enterovirus, dan sejumlah strain adenovirus. Umumnya gangguan ini akan
sembuh sendiri, namun pada beberapa kasus infeksi virus pernapasan bukan
penyakit ringan yang sembuh sendiri. Demikian dikatakan dr. Nastiti
Kanwandani, SpA dihadapan peserta Simposium Respiratory Care Indonesia
(RESPINA), di Jakarta, 3 Desember 2011.
Salah satu gejala infeksi
virus saluran pernapasan adalah batuk. Batuk yang menyertai infeksi
virus pernapasan berlangsung selama 3-8 minggu,kata dr. Nastiti. Salah
seorang pakar di Afrika Selatan, Maras, melakukan penelitian pada
anak-anak berusia di bawah 13 tahun dengan batuk lebih dari 2 minggu dan
tidak responsif dengan pemberian terapi antibiotik lini pertama
(amoksisilin oral selama 5 hari). Penelitian tersebut menemukan bahwa
batuk merupakan diagnosis yang paling lazim pada seluruh kelompk usia,
terutama pada anak-anak berusia di bawah 2 tahun (45/54, 83,3%). dr.
Nastiti juga mengutip salah satu penelitian tentang etiologi batuk.
Penelitian Chow, 2004, menyatakan bahwa pada kelompok usia awal masa
kanak-kanak, etiologi batuk di antaranya adalah hiper responsivitas
saluran napas pascainfeksi virus Airway hyperresponsiveness (AHR).
AHR merupakan manifestasi klinis utama dari asma. Gejala ini
merupakan respons jalan napas terhadap rangsangan seperti pada olah raga
atau penghambatan sejumlah agen yang merefleksikan beratnya asma dan
perubahan terapi. Peningkatan AHR biasanya dimulai setelah infeksi virus
rhinovirus,baik pada penderita asma maupun bukan. Meski demikian,
adakalanya infeksi virus pernapasan juga
meningkatkan AHR pada
anak-anak sehat. Mekanisme yang terjadi pada anak sehat bisa karena
peningkatan vagus yang dimediasi bronkokonstriksi, stimulasi sensorik
serat C, kerusakan epitel, peningkatan reaksi fase akhir, dan produksi
IgE spesifik virus. Batuk yang disebabkan AHR umumnya akan sembuh
sendiri. Kalau diperlukan, steroid jangka pendek dapat diberikan, kata
dokter yang bertugas di RSCM ini.
Tema Chronic Cough: An Annoying Disorder menjadi bahasan pembicara
selanjutnya, yakni dr. Jennifer Ann Mendoza-Wi. "Batuk merupakan
gangguan yang membuat pasien mencari pengobatan," katanya. Di Inggris,
sekitar 10-15% populasi mengalami batuk dan mengonsumsi 75 juta dosis
pengobatan OTC setiap tahun. Berdasarkan penyebabnya, batuk dapat
disebabkan oleh postnasal drip syndrome, asma dan/atau GERD. Pada
kelompok ini, batuk yang terjadi bersifat kronik. Jenis batuk lain yakni
batuk flu, batuk bronkitis akut, batuk pasca infeksi, dan batuk
pertusis. Pasien yang mendapat ACE-Inhibitor juga kerap mengalami batuk.
Pada kasus ini, penghentian sementara pemberian ACE-Inhibitor dapat
dilakukan. Dalam melakukan penatalaksanaan batuk, dokter asal Filiphina
ini menganjurkan untuk melakukan anamnesis mendalam terhadap pasien.
Padapasien dapat ditanyakan apakah mendapat terapi ACE-Inhibitor, apakah
pasien merokok, apakah ada penyakit sistemik yang mendasari masalah
pernapasan, dan sebagainya. Setelah itu, dapat dilakukan uji spirometri
untuk menilai sejauh mana fungsi pernapasan pasien. Tahap selanjutnya
adalah memberikan terapi kepada pasien sesuai penyebab batuknya.
Misalnya, pada pasien postnasal drip syndrome dapat diberikan
antihistamine, ICS (kortikosteroid inhalasi), dan antibiotik. Sedangkan
pada batuk pasca-infeksi dapat diterapi dengan Ipratropium,
kortikosteroid inhalasi, dan agen antitusif seperti kodein atau
dextromethorphan jika terapi lain tidak membawa hasil.
Dalam simposium tersebut diadakan pameran farmasi yang diikuti oleh
puluhan perusahaan farmasi di Jakarta. PT Kimia Farma yang juga menjadi
sponsor sesi di atas, turut berpartisipasi dengan mengedepankan
produknya Codipront. Agen antitusif ini mengurangi batuk dengan menekan
sentral pusat batuk. Obat ini mengurangi intensitas dan frekuensi batuk,
satu jam setelah pemberian. Aksi obat ini diperpanjang karena formulasi
sustained release.
Selasa, 04 Maret 2014
Sebuah pilihan bijaksana untuk mengobati infeksi virus Hepatitis B (HBV)
Infeksi virus Hepatitis B (HBV) merupakan salah satu infeksi virus yang
paling sering terjadi. Sekitar dua miliar penduduk dunia pernah
terinfeksi HBV dan 360 juta di antaranya terinfeksi kronis yang akan
berpotensi menjadi sirosis dan karsinoma hepatoselular dengan angka
kematian sekitar 250.000 per tahun.
Prevalensi infeksi HBV di Indonesia mencapai lebih dari 8 persen. Penderita Hepatitis B dan C di Indonesia diperkirakan mencapai 25 juta orang dengan 50 persen diantaranya menjadi penyakit hati kronik, 10 persen berisiko berkembang menjadi pengerasan hati, dan sekitar 1,25 juta orang berisiko terkena kanker hati.
Angka prevalensi Hepatitis di Indonesia yang tinggi menjadi perhatian banyak pihak, khususnya pemerintah dan kalangan medik. Untuk menekan angka prevalensi yang tinggi tersebut dibutuhkan langka-langkah terintegrasi mulai baik promotif, preventif, sampai langkah kuratif. Sayangnya masih banyak kendala untuk menekan angka hepatitis di Indonesia, salah satunya adalah kendala finansial terutama untuk vaksinasi maupun biaya pengobatan yang masih mahal.
Beranjak dari kondisi di atas PT. Kimia Farma (Persero) tbk. berkomitmen untuk berperan dalam upaya penanggulangan Hepatitis di Indonesia. Salah satu komitmen nyata yang telah kami lakukan adalah dengan launching produk HEPLAV® (Lamivudine 100 mg) untuk indikasi pengobatan infeksi HBV kronik. Dengan harga Rp.146.300,- (HET) per botol 30 tablet, cukup untuk pengobatan pasien selama satu bulan. Harga yang terjangkau ini tentunya akan membantu pasien dalam mendapatkan obat dan menjadi salah satu faktor dalam upaya meningkatkan kepatuhan pasien yang menjadi syarat keberhasilan terapi.
Prevalensi infeksi HBV di Indonesia mencapai lebih dari 8 persen. Penderita Hepatitis B dan C di Indonesia diperkirakan mencapai 25 juta orang dengan 50 persen diantaranya menjadi penyakit hati kronik, 10 persen berisiko berkembang menjadi pengerasan hati, dan sekitar 1,25 juta orang berisiko terkena kanker hati.
Angka prevalensi Hepatitis di Indonesia yang tinggi menjadi perhatian banyak pihak, khususnya pemerintah dan kalangan medik. Untuk menekan angka prevalensi yang tinggi tersebut dibutuhkan langka-langkah terintegrasi mulai baik promotif, preventif, sampai langkah kuratif. Sayangnya masih banyak kendala untuk menekan angka hepatitis di Indonesia, salah satunya adalah kendala finansial terutama untuk vaksinasi maupun biaya pengobatan yang masih mahal.
Beranjak dari kondisi di atas PT. Kimia Farma (Persero) tbk. berkomitmen untuk berperan dalam upaya penanggulangan Hepatitis di Indonesia. Salah satu komitmen nyata yang telah kami lakukan adalah dengan launching produk HEPLAV® (Lamivudine 100 mg) untuk indikasi pengobatan infeksi HBV kronik. Dengan harga Rp.146.300,- (HET) per botol 30 tablet, cukup untuk pengobatan pasien selama satu bulan. Harga yang terjangkau ini tentunya akan membantu pasien dalam mendapatkan obat dan menjadi salah satu faktor dalam upaya meningkatkan kepatuhan pasien yang menjadi syarat keberhasilan terapi.
Kamis, 27 Februari 2014
RELOKASI APOTEK KIMIA FARMA 330 HARAPAN INDAH, KOTA BEKASI
TANGGAL 1 APRIL 2013 APOTEK KIMIA FARMA HARAPAN INDAH RELOKASI KE
RUKO BULEVAR HIJAU JL.BULEVAR HIJAU BLOK B8 NO.9 KOTA HARAPAN INDAH BEKASI.
CONTACT US:
TELEPON : (021) 294 65 444
FLEXI : (021) 7057 5827
PIN BB : 32914EBD
EMAIL : aptkf.330thi@gmail.com
FREE DELIVERY ORDER.
RUKO BULEVAR HIJAU JL.BULEVAR HIJAU BLOK B8 NO.9 KOTA HARAPAN INDAH BEKASI.
CONTACT US:
TELEPON : (021) 294 65 444
FLEXI : (021) 7057 5827
PIN BB : 32914EBD
EMAIL : aptkf.330thi@gmail.com
FREE DELIVERY ORDER.
APOTEK KIMIA FARMA 330 HARAPAN INDAH BEKASI
JL.BULEVAR HIJAU BLOK B8 NO.9 HARAPAN INDAH
KOTA BEKASI
TELP. (021) 294 65 444
FLEXI. (021) 7057 5827
PIN BB. 32914EBD
EMAIL. aptkf.330@thi@gmail.com
FREE DELIVERY ORDER
CEPAT LENGKAP RAMAH
:)
Langganan:
Postingan (Atom)